1.Rumah Gadang dan Surau
Rumah Gadang dan Surau menjadi alat kelengkapan Adat din Nagari-nagari terutama dalam suku sebagai komunitas terkecil Orang Minangkabau disebut suku. Disamping rumah gadang, ada rumah tempat tinggal lainnya dalam suatu wilayah yang dikuasai suku bernama Ulayat Suku atau pusako tinggi. Peran dan fungsi Rumah Gadang dan pusako tinggi diatur dengan aturan Adat/Istiadat dalam sebuah dewan yang terdiri dari Bundo Kanduang, Ninik, Mamak, Rang Tua, Rang Mudo, Cerdik dan Pandai yang diketuai oleh seorang Pang-Ulu /Pangulu ( Pangka dan Ulu - tidak bisa disamakan dengan pengertian “Penghulu”di Jawa ). Pangulu itu bukan Raja/King; atau Komandan yang bisa menetapkan segala sesuatu. Pangulu adalah orang yang hanya didahulukan selangkah dan ditinggikan seranting.
Kehidupan suku tersebut
dikendalikan Pangulu dari Rumah Gadang, sebagai tempat berkumpulnya warga yang
jadi anggota suku. Rumah Gadang menjadi simbol keberadaan suku, disebut pula
sebagai “rumah adat”. Panggilannya tetap rumah gadang sekalipun ukurannya
kecil. Rumah itu besar dan dibesarkan oleh adat/istiadat suku.
Disamping rumah gadang pada
awalnya juga sebuah bangunan lain yang disebut “surau”. Surau ini memegang
peranan "sangat" penting dalam pertumbuhan dan perkembangnan adat istiadat di
Minangkabau. Melalui surau biasanya segala sesuatu keperluan dan kepentingan
suku dapat diopersionalkan dengan cepat.
2. Asal Usul Surau.
Surau dikendalikan oleh Pemimpin
spiritual (Imam) suku yang dipimpin Pang-Ulu. Surau memegang memegang peranan
penting, sejak awal sejarah pertumbuhan masyarakat berketurunan menurut garis
ibu ini dalam budaya Minangkabau. Pendidikan dan pengajaran orang Minang berlangsung di surau ini yang melahirkan putera-putera berbudaya Minang, berbudi, ber-akal, berilmu dan terampil, serta menguasai bela diri Silat.
“Surau
adalah bangunan kecil yang terletak di puncak bukit atau di tempat yang
lebih tinggi dibanding lingkungannya,
dipergunakan untuk menyembah arwah nenek moyang”1.
Pemimpin di surau ini kalau dulunya disebut
“dukun”, “Guru” atau terakhir dikenal dengan panggilan “Imam”.Surau pada awalnya disamping
berfungsi sebagai tempat peribadatan Hindu-Budha, juga menjadi tempat berkumpul
anak muda mempelajari berbagai pengetahuan serta keterampilan, termasuk belajar
bela diri ( silat ) sebagai persiapan menghadapi kehidupan dan tempat
berkumpulnya lelaki dewasa yang belum menikah atau yang sudah duda. Disinilah
tenaga potensial suku terhimpun, maka surau bisa dianggap kunci kekuatan suku. Pertumbuhan
dan perkembangan Suku perlu dilihat, dari “surau” yang merupakan motor
penggerak suku untuk meng-aplikasi-kan adat. Dari peranan dan fungsi surau ini dapat
diketahui dinamika masing-masing suku.
Kata “Surau” muncul jauh sebelum
langgar atau mushalla berdiri, dan istilah surau itu merupakan warisan dari
agama Hindu-Budha atau para leluhur mereka yang menganut animisme, dinamisme
ataupun politeisme. Penggunaan istilah langgar biasanya digunakan shalat dan
mengaji bagi kaum muslim di Jawa. Setelah melaksanakan ibadah shalat, para
jama’ah melanjutkan dengan membaca Al-Qur’an bersama yang dipimpin imam (guru)
yang ditunjuk sebagai pendidik di surau.
Surau disamakan pula dengan
pesantren di Jawa, langgar dan mushalla dan sebagainya; namun kata suaru dalam
Bahasa Melayu tersebut akar katanya dapat ditemukan dalam bahasa Tamil “santre”
yang berarti “guru mengaji”. Dalam bahasa India dikenal dengan kata “shastri”
dari akar kta “shastra” yang berarti “buku-buku suci”, buku-buku agama, atau
buku-buku tentang ilmu pengetahuan. Di luar Pulau Jawa lembaga pendidikan ini disebut
dengan nama lain surau ( di Sumatera barat ), dayah ( Aceh) dan pondok ( daerah
lain)”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar