“DEMOKRASI KITA”
DALAM ADAT MINANGKABAU DAN MANAJEMEN EKONOMI.
oleh;Yanuar Abdullah
Bung Hatta; Founding Father Republik Indonesia berhasil mengangkat nilai-nilai budaya Minangkabau yang egaliter, demokratis dan hubungan sosial yang harmonis ke tingkat Nasional. Bung Hatta yang menyimak kepemilikan modal dasar, Sosial kapital orang Minangkabau, modal Ekonomi, natural kapital,berupa tanah, air dan udara. Bagi setiap suku-suku semuanya itu adalah milik suku dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran anggota suku. Pengelolanya biasanya dipercayakan kepada "sumando" dan atau pendatang yang ditempatkan sebagai "kemenakan".
Hal inilah yang disalin langsung masuk ke dalam fasal-fasal UUD 1945, oleh Bung Hatta. Perhatikanlah pasal-pasal ekonomi dan hak-hak warga negara dalam UUD 1945. Sementara itu prinsip-prinsip ekonomi, yang berazaskan ke-keluarga-an diwujudkannya dalam gerakan Koperasi.
Di Minangkabau memang demikian, dan telah hidup dan berkembang sejak berbilang abad, telah teruji oleh massa. Bumi, Air dan Udara serta yang terkandung di atas dan di dalamnya menjadi milik suku dan diatur secara Adat pengelolaanya oleh “Pangulu” ( bukan Penghulu,Wali atau Lurah ), dan dibantu perangkat adat lainya demi sebesar-besarnya kesejahteraan dan kemakmuran “kemenakan” di dalam suku.
Hal inipun tercermin dalam hampir setiap karya tulis dan pidatonya yang sekaligus menggambarkan haluan politiknya, yang dipengaruhi oleh budaya Minangkabau tempat ia lahir dan dibesarkan.
Ketika hendak meluruskan kegiatan Bung Karno dalam menjalankan politik Negara Indonesia, setelah ia mengundurkan diri dari Jabatan wakil Presiden dan berada di luar Pemerintahan. Mohd.Hatta menerbitkan buku kecil yang berjudul "DEMOKRASI KITA".
Kata “kita” itu ada dan terpakai dalam kebersamaan dan kesejajaran/kesetaraan sesama anggota suku yang disebut “kemenakan”. Kata “kita” tidak membedakan kelamin dan usia. “Kita” itu , bersifat egaliter, disebutkan pula dengan sebutan “awak”, secara populer untuk menyebut/menunjuk orang Minangkabau sebagai “Orang Awak”.
Demokrasi: Seperti “Mencari Sarung Disandang”
Kini Sumatera Barat ( Sumatera Tengah/ termasuk Riau daratan dan Jambi serta Bengkulu ), masyarkatnya penyandang, penganut dan pengamal budaya Minangkabau, seperti sudah kehilangan "Demokrasi Kita" dilindas oleh Demokrasi Asing yang dibawa/diimpor putera-putera bangsa dengan Label, moderen, HAM dan Demokrasi; Ya demokrasi Politik dan apalagi Demokrasi Ekonomi. Penyelenggara Negara masuk dalam perangkap sistem pemerintahan warisan (Jajahan-Belanda), sistemnya tetap menekan, menghisap dan mengeksploitasi. Sistemnya belum berganti, walau ada penyesuaian mulai dari orde Demokrasi Terpimpin, Orde Lama, Orde Baru dan kini tengah berada dalam Orde Reformasi “atau “ Orde Otonomi Daerah. Namun kenyataanya yang besar tetap memakan yang kecil, explotation de lom ver Lome. Penjajahan oleh yang kuat dan yang kaya tetap berjalan, suara yang terbanyak menyingkirkan suara terkecil. Penindasan dan penipuan terus terjadi dalam berbagai sistem tersebut. Benteng Demokrasi itu hanya sampai pada “Vootting”, pemungutan suara.
“Nan Gadang Ma-Enden, Nan Tinggi Ma-Impok, Nan Cadiak Manjua, Nan di Belakang Mananduak, Nan Di Muko Ma-ngikia”.
Bagi Orang Awak yang berbudaya Minangkabau, yang menganut sistem Matriarchat dan bergaris keturunan Matrilineal serta hidup dalam “ SUKU”, pada hakekatnya telah menerapkan cita-cita keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan dalam kebersamaan. Kesetaraan, persaudaraan, kekeluargaan, keadilan dalam kebersamaan telah dijalankan orang Minangkabau dengan “adat/istiadat”, sejak lama secara turun temurun.
Kehidupan demokratis itu hanya ada di dalam kehidupan masing-masing suku di Minangkabau; tidak ada di dalam kehidupan ber-masyarakat orang Minangkabau/Sumatera Barat ( pemahaman suku bangsa Indonesia,seperti Batak, Bugis, Dayak) bukan pula di Nagari-Nagari, tempat pemerintahan terendah saat ini. Suku ini yang menyimpan demokrasi, namun terabaikan dan luput dari pengamatan peneliti/pemerhati. Demikian pula halnya dengan Pembinaan dan Pembelajaran Adat Minang, hinga saat ini tidak sampai ke alamatnya yakni “Suku”. Mencari Pola dan merumuskan demokrasi bagi “Orang Awak” bisa diibaratkan dengan “Mencari kain Sarung yang Disandang”, sudah dipunyai dan dimiliki dan dipakaikan dalam hidup, sama seperti analogi lama “profesor mencari kaca mata yang terpasang di keningnya”.
Suku adalah suatu komunitas Adat terkecil berada di dalam wilayah Pemerintahan Nagari, yakni di tingkat jorong di Sumatera Barat. Budaya Minangkabau yang egaliter dan demokratis secara hakiki, kini hanya dapat ditemukan di dalam suku. Tidak ada “Demokrasi Kita” di tingkat Jorong-Pemerintahan Nagari, Kebupaten, Provinsi dan atau Nasional.
Perhatikan lah “musyawarah untuk mencapai mufakat” itu hanya ada dalam Komunitas Adat yang bernama suku. “ Suku” di Minangkabau berada di bawah kepemimpinan Pangulu dan Perangkat Adat yang memimpin anggota suku masing-masing secara demokratis. Perangkat Adat Suku; semacam “dewan” tersebut biasanya adalah; Bundo Kanduang, Cadiak-Pandai, Imam, Khatib, Manti, Malim, Dubalang , rang Nan Tuo dan lain-lain sebutan pangkatnya pada masing-masing suku. Pangulu bukan Raja, bukan Presiden, Bukan Komandan. Kepemimpinan Pangulu dijalankan melalui keputusan yang diambil di dalam musyawarah dan mufakat. Keputusan bersama itu dibuat dengan sangat berhati-hati dan sepuas-puasnya. “Dikaruak sa-habih gauang”, diperiksa sampai ke batas akhir lobang yang paling dalam. Jika tidak biasa diambil keputusan, di-“parambunan” dulu, dipending utnuk kemudian di bahas lagi dalam permusyawaratan lanjutan. Keputusan yang dijalankan dan di-taati anggota suku bila lolos dalam ujian; “Bulek bisa digolongkan, Picak bisa dilayangkan” Hasil kesepakatan yang di musyawarahkan itu kesempurnaannya diukur dengan “Alam Takambang Jadi Guru” sebagai banding-nya; “Ba-tampuak bisa di-jinjing, Ba-tali bisa di-irik. Semuanya disepakati dalam aturan yang mengedepankan kebersamaan dan keutuhan masing-masing suku. Ikatannya sangat erat sekali. Tidak bisa di-intervensi oleh kekuatan manapun dari luar suku. Semua anggota suku memiliki hak suara yang sama, antara satu sama lain, tidak memandang tingkat kesehatan, kekayaan, pangkat, ke dudukan, umur dan kelamin. Sumando didalam suku juga memiliki peran yang sama sebagai “anggota luar biasa” yang ditampung suara secara bersama-sama dan musyawarah suku untuk mencapai mufakat.
Pangulu suku adalah orang yang memegang, menyimpan dan mengoperasikan “keputusan/kesepakatan”, ia bukan Raja dan tidak bisa mengomandoi anggota suku seperti komandan militer. Pangulu hanyalah seorang kemenakan bertali adat dan bertali darah di dalam suku yang ”didahulu-kan selangkah dan ditinggikan seranting; gadang dek diamba, tinggi dek diajuang.”. Seorang Pangulu di dalam sukunya, ia akan lebur menjadi “kemenakan” yang ber mamak ke adik atau kakak ibunya, atau menjadi anak dari Ayah dan Ibunya. Suara Pangulu dalam permusyawaratan Suku tidak mempunyai nilai lebih, dibanding suara dari kemenakan wanita atau yang masih muda dan/atau nenek/kakek. Pangulu bukan Raja terhadap anggota suku, Raja dalam konsep orang awak, Minang hanya “Bana” atau Tuhan. Adat basandi musyawarah - mufakat, mufakat basandi alua dan patuik, alam takambang jadi guru; "Bana” badiri Sandiri-nyo.
Suku dan Negari (Negara) Kesatuan..
Dalam pergaulan dan hubungannya dengan suku-suku lain di dalam Nagari, seperti Federasi Pangulu yang memegang kesepakatan suku dan kaumnnya untuk dioperasikan dalam kehidupan ber-Nagari. Para Pangulu suku dibantu oleh perangkat masing-masing menyatukan gerak langkahnya dalam ikatan " Elok Samo dipakai, Buruak Samo di Buang; Duduak samo randah, tagak samo tinggi". Nilai-nilai kebersamaan dan kekeluargaan di dalam suku dikembangkan dipersamakan dalam kehidupan yang lebih luas bernama Nagari. Tidak ada Pangulu Ketua; (lebih besar dan tinggi); yang ada hanya; “ yang didahulukan salangkah, ditinggikan seranting”.
Mari kita lihat Demokrasi Ekonomi dan Demokrasi Politik,yang berada di dalam Suku dengan segala sesuatu yang sudah diatur menurut Adat.
Suku adalah ibarat Negara berdaulat yang memiliki;
1. pemerintahan, (Pangulu dan perangkatnya)
2. rakyat, ( anak nagari yang disebut “kemenakan”
3. wilayah ( tanah Ulayat suku)
4. UUD ( hukum adat dan istiadat )
5. Diakui oleh suku-suku yang menjadi tetangga.
Keberadan Negara berupa suku-suku yang berdaulat ini tidak membutuhkan pengakuan Internasional. Pangulu yang diangkat di dalam suku tidak perlu meminta persetujuan pihak-pihak manapun. Hasil pengangkatan itu hanya "diproklamirkan" atau Istilah adatnya disebut dengan " dilewakan ". Kesepakatan suku tidak dapat dibatalkan oleh pihak-pihak manapun. Pangulu berdaulat; dengan raja-nya " Nan Bana/ Tuhan". Pangulu hidup bersama "Rakyat"-nya yang bernama "kemenakan"; mengggunakan Undang/Aturan Dasar Adat /Istiadat dan memiliki wilayah pasti batas-batasnya dalam " Ulayat Suku" dan diakui suku tetangganya. Jika tidak persetujuan mereka akan berpekara. Setiap anggota suku secara sukarela akan memelihara wilayah kesatuannya yang disebut “pusako tinggi”.
Kehidupan Suku ini sengaja saya gambarkan guna membuat pemetaan Suku dalam konteks potensi; kekayaan sosial budaya ( Gelar dan Pangkat "Soko"-di dalam suku ) yang menjadi modal sosial (Soacial Capital). Dalam menjalankan kebijaksanaannya seharusnya Pangulu mendayagunakan modal dasar ekonominya, social capital, financial capital, phisical capital suku. Seperti Tanah Ulayat, baik di darat ( kering ) dan di Air ( nan basah ) serta di Hutan (rimba ) dan segala yang ada di atas dan di dalamnya digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan dan kemakmuran anak kemenakannya. Tidak boleh atau tidak bisa dipindah tangankan demi adat. Jangankan ke pihak suku lain, kepada “anak kanduang ayah” pun dilarang. Pusako tinggi ini tetap permanen, kekal dan abadi, berada dalam kekuasaan dan milik “anak kanduang” ibu pada garis keturunan Matrilineal, disebut “kemenakan”.
Demokrasi Ekonomi Minangkabau jika diinap-inapkan, terasa sudah sepenuhnya di obok-obok oleh Agen dan pelaku suruhan kaum kapitalis dan pemilik modal. Malah Negara sendiri sangat lancang merebut dan menguasai modal dasar "komunitas adat" pada “suku”. Provinsi Sumatera Barat tidak identik dengan Minangkabau. Mencari dan melihat suku, tidak akan di temukan di tingkat Parovinsi ( Sumatera Barat ) atau Kabupaten, bahkan Nagari sekalipun.
Nagari diciptakan Belanda untuk mengendalikan rakyat melalui pimpinannya “Pangulu Kapala”, Datuak Palo Nagari untuk menjalankan kepentingan dagang VOC/Belanda seperti menjalankan “tanaman paksa”. Setelah kemerdekaan 1945, Wali Nagari yang disebut Tuk Palo ini banyak yang ”dihabisi” massa. Persetujuan dan kesepakatan di tingkat Pemerintahan Nagari tidak dan belum bisa mewakili persetujuan “suku”. Begitu pula persetujuan seorang Pangulu suku, belum memiliki kekuatan apa-apa, sebelum ada keputusan “permusyawaratan suku”.
Tidak bisa atau tidak mudah bagi seorang Pangulu membagi/mewariskan Sako dan Pusako Suku. Menyerahkan/menjual “pusako tinggi “ adalah “pantang adat”. Dalam lingkup persepsi seperti ini, wilayah kesatuan suku itu “permanen-kekal-abadi” tidak boleh berkurang.
Tanah Ulayat lepas ?
Adalah melanggar adat bila, perlakuan terhadap “pusako tinggi” (ulayat suku); dengan dalih dan segala macam alasan dan atas nama menjalankan Missi Negara. UDD 1945 yang dijalankan, sangat jauh panggang dari api, keadaannya Tunggang- Balik, 180 derajat. Anak Nagari (rakyat) pemilik, penguasa atas tanah ulayat, secara turun temurun di paksa/ditipu untuk "melepaskan Hak Ulayat" mereka. Biasanya, legalissinya mengacu kepada kesepakatan di tingkat pemerintahan Nagari, yaitu oleh Wali Nagari ( Tuk Palo ) dan lembaga buatan yakni LAN, KAN dan atau nama-nama lain, kemudian disesuaikan dengan Undang-undang Agraria atau peraturan – peraturan yang digunakan guna memenuhi missi pihak tertentu yang hendak menguasai “sako dan pusako”. Sementara itu pemilik sako dan pusako itu tidak di tingkat Nagari, hanya ada di Suku. Persetujuan dan kesepakatan di tingkat Nagari itu tidak mengikat ke dalam Suku.
Kenyataan inilah yang menjadi terbalik dan bertolak belakang dengan prinsip dasar masyarakat pendukung budaya adat Minangkabau. Pusako; dalam bentuk apapun terutama tanah dan modal dasar (asset) suku tidak dapat "di-anjak", dipindahkan pemilikannya. Berpantang Untuk di-jual. Toleransi dengan persyaratan yang sangat ketat hanya boleh "digadaikan" . Begitu Adat Minang menjamin “ kedaulatan teritorial, wilayah Suku dalam kesatuan Suku. Jika ada wilayah Suku yang berkurang (berpindah tangan) itu adalah buah pemaksaan, penipuan dan pembodohan oleh pihak-pihak yang menguasai tanah ulayat Suku, gugur demi hukum. Hukum Adat diakui dan berada dalam kesatuan UUD 1945, yang berperan sebagai sumber Hukum Tertinggi , tidak ada hukum lain yang dapat melawannya.
Pendekatan Pembangunan melalui Suku.
Kenapa Komunitas adat ini tidak diberdayakan dan tidak dilirik pemerintah dalam memberantas kemiskinan dan membuka lapangan kerja untuk pemerataan pembangunan ? Mereka sudah dapat dipastikan berada dalam "ikatan anggota suku" yang sangat kuat dan tidak memerlukan " akte Notaris" seperti Koperasi, perushaan PT atau CV serta NGO atau LSM dan lain-lain.
Seharusnya keberaan suku-suku di Minangkabau ini di akomodasi di dalam Undang -Undang dan demikian dengan PP serta; Peraturan Daerah (perda), Provinsi dan Kabupaten/Kota apalagi di tingkat Nagari ( Pernag).
Kenapa harus ada kelompok ciptaan dan binaan yang diseragamkan dengan Suku Bangsa lain yang tidak sama dengan suku-suku di Minangkabau di Sumatera Barat ? Kelompok ciptaan ini berada dalam ikatan yang longgar. Sebaliknya kelompok-kelompok akan mudah mejelma menjadi “konglomerat” dengan sepenuhnya melakukan pendekatan asal untung biar yang lain “melarat”.
Idealnya ; Anak Nagari (rakayat) hidup aman, damai, sejahtera yang berkeadilan dalam kebersamaan dibawah pimpinan Pangulu dan perangkat adat suku yang berdaya di dalam Nagari secara harmonis . Untuk mencapai percepatan pembangunan, pemberantasan kemiskinan dan pembukaan lapangan kerja seharusnya di tempatkan di tingkat suku. Tidak perlu membuat-lagi; kelompok-kelompok lain yang pasti tidak sekuat ikatan dalam suku.
Berbagai bantuan langsung yang diluncurkan pemerintah seperti bantuanlangsung tunai ( BLT), PNM, dan paket bantuan/pemberdayaan lainya selayaknya diarakan ke kelompok abadi suku. Yang perlu dibimbing hanyalah “teknis” dan manajemn proyek yang di sesuaikan dengan struktur adat istiadat. Jangan merobah adat dan menyesuaikannya dengan karakter proyek. Yang datang yang menyesuaikan dan jangan abaikan suku.
Berdayakan Pangulu Suku.
Pengembalian dan pengakuan terhadap tugas pokok, fungsi , kewenangan dan kewajibannya perlu ditempatkan dalam irama pembangunan. Kebesaran dan kewibawaan Pangulu perlu diposisikan dalamm gerakan Pembangunan secara tepat.
Bagi sebagian Pemerintahan Nagari sudah ada yang menyerahkan berbagai urusan kepada Pangulu Suku, seperti
1. Pemungutan iyuran Pajak Bumi dan Bangunan ( PBB ), ini akan mendorong Pangulu mengurus dan memelihara Pusako Tinggi milik suku.
2. Mengurus Administrasi Pernikahan “kemenakan” di Jawatan Agama, ini akan mendorong Pangulu suku mengurus dan melindungi rakyat-nya ( kemenakan ), yang sehararusnya ia jamin keamanan, kesejahteraan serta keadilannya.
Baru sampai di situ. Penempatan tugas Pangulu dalam Pembangunan itu belum di-akomodasi melalui undang-undang Negara atau se- tidaknya dengan Perda Parovinsi/ Kabupatten/Kota, atau paling jauh Peraturan Nagari.
Pangulu tersebut belum dilibatkan dalam Perencanaan dan Pelaksanaan Pembangunan di tingkat Nagari secara efektif operasional. Sementara itu yang hendak dijadikan sasaran pembangunan itu adalah “kemenakan” ( anak Nagari ) milik Pangulu Suku. Demikian pula yang hendak didayagunakan dalam pembangunan itu adalah tanah Ulayat Suku ( pusako tinggi ) Pangulu suku. Inilah sumber konflik, tempat penipuan dan pemaksaan. Dengan sulit dan memakan waktu meyakinkan Pangulu dan seluruh kemenakannya, kini yang terlihat pembentukan “kelompok”-kelompok buatan, tanpa peduli dengan suku, ujung-ujungnya adalah konflik dan penipuan. Demikianlah kondisi kelompok-kelompok tani, dagang dan usaha ciptaan, yang berakhir tanpa penyelesaian dan hilang tanpa bekas. Kenapa tidak memberdayakan kelompok abadi yang bernama Suku ?
Seharusnya Pangulu Suku itu berada pada tingkat Pengendali dan Pengawas gerak laju Pembangunan Nagari. Tidak membedakan Pangulu dengan suku besar atau kecil, semua Pangulu suku dilibatkan. Tidak bisa diwakilkan dengan Bamus ( Badan Musyawarah) yang diformulasi dengan Tigo Tungku Sajarangan. Salinan Trias Politika. Minangkabau di dalam suku tidak mengenal lembaga Trias Politika. Keberadaan Pangulu dan Perangkat adat dalam suku ini seharusnya sudah diakomodasi dalam undang-undang atau minimal dalam Peraturan Pemerintah, Perda Prov, Kab/Kota dan Peraturan Nagari.
Organisasi Adat dan lembaga-lembaga Adat Minangkabau, seperti LKAAM,LAN, KAN dan sebagainya secara bersama-sama dengan Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota dan Pemerintah Tingkat Nagari sebaiknya mengarahkan kebijakan dan program pembangunan seperti;
1. Mendorong dan memfasilitasi Pangulu dan Perangkat Adat, pada setiap suku sehingga tercipta hubungan yang sesuai dengan tali Adat (Adat Istiadat) antara Mamak dan Kemenakan dan Bundo Kanduang, serta Sumando sebagai Anak Nagari.
2. Menyempurnakan fasilitas dan kelengkapan adat di tingkat Suku, kampuang, Koto dan Nagari, seperti Rumah Gadang, Medan Nan Bapaneh, Padang panjamuran, Tanjuang Paninjauan, Mato Aia, Tali Banda, Surau, musajid dan Balai Adat. Dengan menetapkan aturan pemeliharaan dan pendayagunaanya secara Adat.
3. Menginventarisir, Atribut dan assesoris, serta symbol-simbol Adat yang diadatkan oleh Pangulu dan perangkatnya serta mengarahkan pemakaiannya secara tepat tertib dan menghormatinya serta menantang setiap pelecehannya.
4. Mendorong dan memfasilitasi Pengahulu dan Perangkat Adat di setiap suku, sehingga mempu berperan, berfungsi secara efektif pada setiap suku.Siriah pulang ka gagang-nyo dan pinang pulang ka tampuaknya.
5. Memberdayakan kekayaan suku, Sako dan Pusako sesuai dengan peruntukannya menurut Adat.Disamping kekayaan yang bersifat, ekonomi, social budaya, peninggalan sejarah, prasasti dan situs-situs sejarah.
6. Mendorong Anak Nagari menggelorakan kehidupan ber-adat dalam setiap kegiatan serimonial, (baralek), dicerminkan melalui pakaian, makanan, kesenian olahraga dibawah kendali dan pembinaan Pangulu dan perangkatnya.
7. Menggelorakan semangat membangun Nagari dan Meningkatakan hubungan antara kampuang dan Rantau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar